Mahasiswa IIP Wakili UNAIR dalam Konferensi Internasional di Polandia

Mahasiswa S1 program studi Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga kembali mengharumkan nama almamaternya di kancah internasional. Adalah I Putu Ari Kurnia, mahasiswa  IIP angkatan 2014 yang menjadi satu-satunya delegasi yang dikirimkan oleh Unair dan Indonesia untuk mengikuti konferensi The 83rd International Federation of Library Association (IFLA) General Conference and Assembly yang diadakan di Wroclaw, Polandia pada tanggal 19-25 Agustus 2017 lalu.

Makalah yang bertajuk “Cultural Entropy on Digitizing Balinese Lontar Manuscripts: Overcoming Challenges and Seizing Opportunities” berhasil membawa dirinya tampil mempresentasikan karya tulisnya di hadapan akademisi dan praktisi di bidang keilmuan informasi dan perpustakaan dari seluruh dunia.

Sebelumnya pada tahun 2016, ia juga terpilih sebagai penulis makalah dalam konferensi IFLA yang diadakan di Amerika Serikat. Saat itu, Ari memperesentasikan makalahnya yang berjudul “Genealogical Information Searches in Kawitan Culture on Balinese Hinduism Society: from Lontar (palm-leaf manuscript) to Electronic Form” dan memberikan paparan tentang metode penemuan informasi tentang kawitan (silsilah keluarga) di Bali.

Meski merupakan kali kedua bagi Ari mengikuti konferensi tersebut, awalnya ia mengaku sempat khawatir jika makalah yang dibuatnya tidak lolos seleksi. “Saingannya cukup ketat. Beberapa kenalan akademisi dan praktisi dari Indonesia banyak yang mencoba tapi tidak lolos.” Ungkapnya. Kemudian akhirnya pada akhir Bulan Juni, Ari mendapat kabar bahwa paper nya kembali lolos untuk dipresentasikan.

“Senang karena bisa mewakili Indonesia di forum tersebut. Antusiasme audiensnya tinggi, sehingga menimbulkan diskusi yang hangat dan serta bisa berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai negara.” Jelasnya.

Berawal dari ketertarikannya terhadap pelestarian manuskrip yang terbuat dari daun lontar di tanah kelahirannya, Bali, membuat Ari berpikir tentang bagaimana strategi preservasi dan konservasi bahan pustaka tersebut. Ari menjelaskan bahwa digitalisasi manuskrip lontar di Bali masih dilakukan secara manual. Satu per satu lembar daun lontar difoto. Kemudian, agar hasil foto tampak lebih jelas dan tajam, foto tersebut diolah dengan sebuah perangkat lunak. Selanjutnya akan dibuatkan metadata untuk disimpan dalam database.

Di Bali, Ari tergabung dalam sebuah komunitas bernama Hanacaraka Society yang bergerak di bidang pelestarian manuskrip lontar dengan cara melakukan digitalisasi terhadap manuskrip-manuskrip tersebut.  Sehingga, tak sulit bagi Ari untuk menggambarkan tentang praktik penyelamatan manuskrip lontar dengan digitalisasi di Bali.

Dalam praktiknya, digitalisasi manuskrip lontar sempat mengalami sejumlah hambatan. Hambatan dan tantangan itu berasal dari masyarakat sendiri. Ia menilai, sikap masyarakat terhadap pelestarian manuskrip lontar baru sebatas keharusan menjaga warisan budaya namun justru tak ditunjukkan dengan upaya nyata yang signifikan. Selain itu keterbatasan masyarakat terhadap bahasa dan aksara lontar membuat mereka tidak mampu memanfaatkannya lagi.

Kemudian Ari bersama komunitasnya, Hanacaraka Society berinisiatif untuk melakukan pelestarian manuskrip lontar di Jawa, Bali, dan Lombok. Beberapa upaya yang dilakukan, seperti, mengadakan kelas menulis lontar dan menyelenggarakan pameran-pameran tentang lontar. Ari berharap ke depannya pengetahuan masyarakat tentang manuskrip lontar semakin bertambah serta masyarakat turut peduli dengan upaya preservasi untuk menjaga keberadaan manuskrip tersebut sebagai salah satu warisan budaya. (zad)

Share